AL Qur'an Berwajah Puisi (H.B. Jassin)


Oleh: Muhammad Irfan A. Syahrial
          Najmul Mujahid

 
 Biografi H.B. Jassin

Nama lengkapnya adalah Hans Bague Jassin atau biasa disebut H.B. Jassin. Ia dilahirkan pada pada tanggal 31 Juli 1917 di Gorontalo dari pasangan Mantu Jassin dan Habiba Jau. Sejak kecil, Jassin adalah anak yang suka membaca. Ia gemar membaca buku-buku yang dimiliki ayahnya meskipun ia tidak begitu memahaminya. Kegemaran membaca membawanya ke ranah sastra terutama sekali setelah ia mengenal seorang Belanda bernama M.A. Duisterhof, guru sekaligus kepala sekolah dari tempat Jassin belajar. 

Semasa mudanya, Jassin telah berkenalan dengan beberapa sastrawan seperti Chairil Anwar. Ia merasa beruntung bisa bertemu dengan sastrawan idolanya, Sutan Takdir Alisjahbana. Pertemuan singkat tersebut ternyata menimbulkan kesan mendalam dalam diri Sutan, sehingga ia mengirim surat ke Gorontalo meminta Jassin agar mau bekerja di lembaga sastra yang ia pimpin, Balai Pustaka.

Jassin terlibat dalam sejumlah aktifitas sastra. Ia sempat mengisi posisi redaktur majalah ternama di Indonesia seperti Mimbar Indonesia (1947-1966), majalah Zenith (1953-1956), dan sebagainya. Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980), dan sejumlah jabatan penting lainnya dalam dunia sastra dan penulisan.3 Pada tahun 1953, Jassin diangkat menjadi Dosen Luar Biasa di Universitas Indonesia untuk mata kuliah Kesusastraan Indonesia Modern. Jassin diberhentikan dari Universitas Indonesia pada tahun 1964 diakibatkan oleh keterlibatannya dalam Manifest Kebudayaan.

Jassin meninggal pada Sabtu dini hari 11 Maret 2000 pada usia 83 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sebagai penghormatan serta penghargaan atas jasa-jasanya, Jassin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta dengan upacara kehormatan militer Apel Persada. Selama hidupnya, Jassin dikenal sebagai seorang yang teguh dengan idealismenya, terutama ketika terjadi pertentangan antara Lekra dan Manifest. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) didukung penuh oleh pemerintah. Pengikut Lekra akan mendapatkan fasilitas yang berlimpah mulai dari keuangan, penerbitan, popularitas, hingga studi ke luar negeri. Menurut Hamka, Lekra berpaham komunis. Pada sisi lain, Manifest, lembaga sastra yang menentang Lekra. Di sini lah posisi Jassin. Berbagai cara dilakukan Lekra untuk membujuk Jassin untuk berpindah haluan. Akan tetapi, Jassin terkenal teguh dengan idealismenya, maka cara-cara yang lebih intimidatif tidak jarang dilakukan.

Sebagai contoh, buku “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” karya Hamka mereka tuduh sebagai karya plagiasi. Jassin dalam hal ini berada di garda terdepan membela Hamka. Sikap tersebut memperlihatkan jati diri Jassin sebagai seorang yang berani. Keberanian ini lah yang membuatnya tahan banting ketika kontroversi cerpen “Langit Makin Mendung” mengantarkannya ke penjara. Keberanian ini pula lah yang meneguhkannya untuk menyelesaikan penulisan Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia dan Al-Qur’an Berwajah Puisi meskipun di bawah tekanan dari berbagai arah. Selain itu, Jassin adalah seorang yang istimewa. Kemampuan sebagai seorang kritikus, dokumentator, pengajar, penulis, penerjemah serta kemampuan-kemampuan lain yang dimilikinya sulit untuk ditemukan bandingannya di Indonesia. Jasanya sebagai seorang dokumentator bagi kesusastraan Indonesia telah sangat membantu pelestarian kekayaan budaya bangsa yang amat bernilai. Karya-karyanya, baik yang ia tulis sendiri maupun yang ia terjemahkan dari karya orang lain, jelas merupakan sumbangan yang benar-benar berharga bagi siapa pun yang ingin mengambil manfaat darinya. Walaupun lebih dikenal sebagai seorang dokumentator dan kritikus sastra, H.B. Jassin juga mempunyai peran yang tidak kecil dalam hal penerjemahan. Ia menguasai sejumlah bahasa asing seperti Belanda, Jerman, Inggris, Belanda, Prancis. Ia telah menerjemahkan sedikitnya 15 buku dalam bahasa-bahasa tersebut. Namun begitu kompetensi berbahasa Arabnya dipertanyakan berbagai pihak yang mengkritisi Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia.

Al Qur'an Berwajah Puisi

Jika berbicara tentang al-Qur’an Berwajah Puisi karya H. B. Jassin, maka tidak bisa lepas dari membicarakan karya H. B. Jassin yang lainnya, yaitu al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia. Kedua karya ini tidak lepas dari kecenderungan sastrawi yang dimiliki oleh Jassin sebagai pengaruh dari professional concern-nya sebagai sastrawan. Kedua karya ini tidak jauh dari unsur puisi.

Jika pada Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia unsur puisi berada pada bentuk terjemahan, pada Al-Qur’an Berwajah Puisi terletak pada layout dan tata letak penulisan al-Qur’an. Kelahiran Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia merupakan wujud kesadaran religius seorang sastrawan yang muncul pada hari tuanya. Paling tidak, itulah kesan yang terlihat dari artikel pertama yang terdapat dalam buku Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi. Pada artikel pembuka tersebut, M. Amin dan Yulius P. Silalahi menuliskan sebagai berikut: “Kini di usianya yang makin renta, Jassin juga semakin sadar, bahwa semua manusia akan kembali ke Khalik-Nya. Itu makanya Jassin banyak berzikir. Jassin mengaku, sebagai manusia dia amat lemah. Kesalahan-kesalahan di masa lalu kerap membayang di ingatannya, dan itu membuatnya selalu meminta ampunan pada Tuhan.”

Kiranya tidak berlebihan apa yang ditulis oleh M. Amin dan Yulius P. Silalahi tersebut memperhatikan tanggapan yang serupa juga diberikan oleh Hamka. Hamka memberi tangapan yang positif terkait usaha Jassin dalam penerjemahan al-Qur’an dalam sambutannya untuk cetakan pertama Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia. Dalam sambutan tersebut, Hamka memperlihatkan integritas H.B. Jassin sebagai seorang sastrawan, dan sebagai seorang manusia yang terpanggil hatinya untuk mempelajari al-Qur’an pada masa tuanya. Hamka menuliskan percakapan langsungnya bersama Jassin pada perjalanan pulang dari ruang sidang. “Perhatian saya kian lama kian mendalam kepada al-Qur’an. Tidak saya biarkan satu hari berlalu yang saya tidak membacanya. Saya renungkan ayat demi ayat!” Penjelasan Jassin tersebut dikomentari seperti ini oleh Hamka dalam kelanjutan sambutannya:
“Maka dapat dipahami jika ia pada mulanya tertarik merenungkan al-Qur’an, lalu tenggelam ke dalam keindahannya, lalu terjalin cinta kepada Tuhan karenanya, lalu timbul keinginan hendak turut berbakti kepada agama dengan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk kesusastraan yang Indah.”

Berdasarkan pengakuannya, Jassin tergerak untuk mempelajari al-Qur’an semenjak wafat istrinya pada tahun 1962. Selama tujuh hari al-Qur’an dibacakan di rumahnya. Ia kembali ingat masa kecilnya yang tidak begitu dekat dengan al-Qur’an. Bahkan ia sempat jengkel dengan muballigh yang khutbah (dalam bahasanya Jassin menyebut ‘berteriak-teriak’). Ia hanya sering mendengar neneknya membacakan al-Qur’an. Baginya, bacaan sang nenek begitu indah didengar. Lantas ia berpikir, mengapa bukan dia sendiri yang membacakan al-Qur’an untuk Istrinya. Semenjak itulah, ia mulai membaca al-Qur’an. Tidak ada satu hari pun yang ia lewatkan tanpa membaca al-Qur’an. Semakin hari, muncul rasa ingin tahu. Ia mulai mempelajari makna dari apa yang ia baca. Awalnya, ia mempelajari terjemahan al-Qur’an. Jassin tidak puas dengan terjemahan per ayat. Pada akhirnya, ia mempelajari makna kata demi kata. Sebagai seorang sastrawan yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap unsur-unsur sastra, bagi Jassin bahasa al-Qur’an sangat indah. Ia menjelaskan bahwa bahasa al-Qur’an sangat puitis. Setelah melakukannya selama sepuluh tahun, ia tergerak untuk menerjemahkan al-Qur’an kepada bahasa Indonesia.

Dari segi bahasa yang digunakan, terjemahan Jassin sama dengan karya H.O.S Tjokroaminoto, Ahmad Hasan, Mahmud Yunus, dan Departemen Agama, berbeda dengan sejumlah terjemahan yang menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan Bugis. Dari segi tulisan, Jassin menggunakan tulisan latin, bukan tulisan pegon atau aksara Jawa. Meskipun begitu, terjemahan Jassin tetap memiliki perbedaan dengan Tjokroaminoto, Ahmad Hasan dan Mahmud Yunus. Ketiga tokoh tersebut menggunakan bahasa Indonesia dalam bentuk prosa, sementara Jassin menggubah terjemahannya dalam bentuk puisi. Akan tetapi, Jassin bukanlah satu-satunya yang melakukan penerjemahan al-Qur’an ke bentuk puisi. Ahmad Bestari Asnin, Syaifuddin b., K.H. Isa Anshary, dan Muhammad Diponegoro juga melakukan hal serupa. Ahmad Bestari Asnin tidak bisa menyelesaikan terjemahannya karena ia telah meninggal terlebih dahulu. Sementara kedua tokoh berikutnya menerbitkan
terjemahan puitis al-Qur’an terhadap ayat-ayat pilihan, bukan seluruh al-Qur’an sebagaimana Jassin.
Sebagai gambaran yang lebih rinci, Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia karya H.B. Jassin bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut:

1) Menggunakan pola tartib muṣḥâfî

2) Pada halaman pertama, Surat al-Fâtiḥah, Jassin memberi hiasan kaligrafi surat al-‘Alaq ayat 1-12 dalam pola pintu yang sisi atasnya berbentuk bundar. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai hal ini. Dekorasi semacam ini ditemukan pada setiap awal juz.

3) Page orientation yang digunakan disusun dari kiri ke kanan, bukan kanan ke kiri sebagaimana lazimnya layout teks Arab. Dalam hal ini, Jassin mengikuti pola penerjemahan yang telah beredar sebelumnya, seperti terjemahan Mahmud Yunus dan terjemahan Departemen Agama yang juga menggunakan tata letak dari kiri ke kanan.

4) Penerjemahan H.B Jassin menyertakan teks Arabnya. Kedua teks ini disusun berdampingan, teks Arab ditempatkan di sebelah kanan, dan terjemahannya di sebelah kiri. Model seperti ini juga digunakan oleh terjemah Departemen Agama sebelumnya. Hanya saja, satu keunikan versi Jassin adalah teks Arab maupun terjemahannya disusun simetris dengan pola rata tengah (centered-alignment). Pola penulisan ini mengikuti kepada pola penulisan populer pada puisi.

5) Di tiap awal surat, ia menuliskan nama surat, status makki/madani, dan jumlah ayat. Ia menuliskannya dalam kedua bahasa, Arab di sebelah kanan dan terjemahan Indonesia di sebelah kiri.

6) Menggunakan footnote di beberapa tempat. Ada beberapa kriteria yangdigunakan Jassin dalam fitur catatan kaki ini:

a. Pada ayat yang menggunakan tamtsîl, seperti kata maraḍ pada al-Baqarah: 10. Jassin menerjemahkan kata tersebut secara literal, penyakit, akan tetapi menempatkan catatan kaki untuk menjelaskan makna dari tamtsîl tersebut, yaitu dengki, iri hati, dendam, sombong, takabbur , dan segala macam kekotoran hati.
b. Pada kata-kata yang tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, seperti kata al-sufahâ’. Jassin menerjemahkannya dengan safih dengan memberikan penjelasan lebih lanjut pada catatan kaki.
c. Pada kata yang memiliki penafsiran tertentu, seperti kata al-ṣabr pada al-Baqarah: 45. Jassin tetap menerjemahkan kata tersebut dengan ‘kesabaran.’ Hanya saja, ia memberikan catatan kaki, bahwa yang dimaksud dengan kesabaran di sana adalah puasa.

Jika Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia muncul sebagai akibat dari munculnya religiusitas H.B. Jassin semenjak meninggalnya istrinya, Al-Qur’an Berwajah Puisi merupakan kelanjutan dari karya pertama tersebut. Jassin mengakui kekurangannya dalam kompetensi menerjemahkan al-Qur’an. Ia kemudian memilih untuk bersikap terbuka terhadap kritik dan saran seputar karya tersebut, yang akan ia perbaiki pada cetakan berikut. Semenjak saat itu, hari demi hari tidak ada yang ia lewatkan tanpa menulis al-Qur’an. Dalam sebuah wawancara, Jassin menyatakan bahwa ia menulis al-Qur’an setiap saat. Selain memperbaiki kesalahan-kesalahan pada penerjemahan dan menambah unsur puitiknya, Jassin juga mulai menyusun tulisan Arabnya supaya sejajar dengan terjemahannya. Hal ini ia lakukan terus menerus, hingga ia menemukan ide, mengapa al-Qur’an tidak ditulis dalam bentuk puisi saja?.

Selanjutnya, ia mengaku telah melakukan penelitian terhadap bentuk cetakan-cetakan al-Qur’an di sejumlah negara. Ia mendatangi sejumlah took buku dan melihat cetakan al-Qur’an. Baginya, al-Qur’an memiliki bahasa puitik yang indah, akan tetapi mengapa al-Qur’an selalu ditulis dalam bentuk prosa?

Penulisan al-Qur’an dengan format yang direncanakan oleh Jassin ternyata ditolak oleh MUI dan Kementrian Agama melalui Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an pada akhir tahun 1992. Penolakan tersebut dituangkan oleh MUI melalui surat No. U 1061/MUI/XII/1992 yang ditandatangani oleh K.H. Hasan Basri dan Sekretaris Umum Prodjokusumo. Sementara penolakan Kementrian Agama dinyatakan dalam surat no P III/TL.02/1/242/1179/1992 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Litbang Agama Ia menjelaskan bahwa safih adalah orang yang angkuh, bodoh, kurang ajar, tak masuk nasihat, suka melawan dan tidak ada rasa malu.

Puslitbang Lektur Agama Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Depag, H.A. Hafizh Dasuki. Surat tersebut dikirim kepada Jassin pada awal tahun 1993.17 Terkait contoh halaman Al-Qur’an Berwajah Puisi, Penulis tidak mendapatkan akses kepada buku langsungnya karena bukunya tidak jadi diterbitkan.

Kontroversi Karyanya

H.B. Jassin sendiri mengumpulkan setiap artikel-artikel baik di Jurnal, koran atau majalah yang menyoroti kontroversi “Al-Qur’an Berwajah Puisi” menjadi satu buku yang diberi judul “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi”. Di dalam buku tersebut, kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi terpusat pada beberapa aspek: otentisitas al-Qur’an terkait al-Qur’an sebagai wahyu dan al-Qur’an sebagai puisi, problem potensi penyelewengan penafsiran, gejolak umat, dan seputar rasm utsmâni. Satu hal yang menarik adalah bahwa Jassin mengaku telah berkonsultasi kepada sedikitnya 200 ulama dan cendikiawan mengenai inisiatifnya. Ia juga berkonsultasi kepada Munawar Sjazali dan M. Quraish Shihab. Pada awalnya keduanya mendukung Jassin, akan tetapi keduanya berbicara atas nama Mentri Agama dan MUI, keduanya menolak Al-Qur’an Berwajah Puisi. Tokoh yang tetap mendukung secara penuh di antaranya adalah Menristek B.J. Habiebie dan K.H. Abdurrahman Wahid.

Pada Al-Qur’an Berwajah Puisi Jassin menekankan unsur sastra dalam layout penulisan al-Qur’an. H.B. Jassin tidak menggunakan item-item bantu atau langkah procedural dalam karyanya ini. Yang ia gunakan hanyalah perenungan, sebagaimana lazimnya seorang sastrawan dalam menggubah sebuah puisi. Bagi Jassin, prosa adalah tulisan menggunakan pengetahuan, sementara puisi adalah tulisan menggunakan perasaan.19 Maka, usaha Jassin mengungkap unsur puitik al-Qur’an, baik dari segi terjemahan atau penulisannya, harus dipahami dalam konteks ini; ia lebih menekankan sensitifitas perasaannya sebagai sastrawan dalam menyelesaikan karyanya.

Penulisan al-Qur’an dengan layout baru ini juga ia lalui dengan perenungan. Bagian kosong dalam penulisan simetris ini merupakan space yang dimiliki Al-Qur’an Berwajah Puisi untuk memperdalam renungan dan rasa bagi siapa saja yang membacanya. Ia melakukan perenungan panjang yang semakin hari semakin mengembangkan potensinya. Inilah jawaban dari cara kemunculan pengetahuan Jassin yang kemudian melahirkan kedua karya intuitifnya.

Bagi Jabiri, pengetahuan ‘irfani adalah pengetahuan tentang hakikat Tuhan dan perkara-perkara agama lainnya yang didapati dengan kekuatan irâdah. Al-Jabiri cenderung menilai ‘irfâni, dalam tradisi sufi hal ini lebih memperhatikan bentuk pengetahuan yang diterima secara kashf tanpa mempermasalahkan korelasinya dengan metode mendapatkannya. Sehingga apa yang dilakukan oleh H. B. Jassin terkait dengan metode yang digunakan dalam menulis karyanya bisa disebut bahwa dia menggunakan metode irfani sebagaiana pandangan al-Jabiri.

Dalam konteks ini, Jassin adalah seorang yang dengan terus menerus melatih untuk mengembangkan potensinya. Ia secara terus menerus membaca, mempelajari arti kata per kata, dan meresapi makna al-Qur’an secara serius selama 30 tahun, terhitung tahun 1962 setelah meninggalnya istrinya sampai tahun 1992 ketika ia menyelesaikan Al-Qur’an Berwajah Puisi. Dalam konteks ini, maka pilihan-pilihan diksi yang digunakan Jassin dalam Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia atau pemotongan ayat yang ia lakukan pada Al-Qur’an Berwajah Puisi adalah hasil dari intuisinya. 

Daftar Pustaka 

Chudori, Leila S. “H.B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia.” Dalam www.tempo.com. diakses pada tanggal 9 April 2014.

Erneste, Pamusuk.H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1987.

Fitriani, Siti Rohamatin. “Perbandingan Metodologi Penafsiran A. Hassan dalam Tafsir Al-Furqan dan H.B. Jassin dalam Al-Qur’an Al-Karim Bacaan yang Mulia.” Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Hamka, “Sambutan.” Dalam H.B. Jassin.Al-Qur’an Bacaan Mulia cet. III. Jakarta: Djambatan. 1991.
Ichwan, Moch. Nur. “Negara, Kitab Suci dan Politik: Terjemahan Resmi al-Qur’an di Indonesia.” Henri Chambert-Loir.Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

Al-Jabiri, M. Abed, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab: Dira>sa>t Tah}li>li>ya>t Naqdiyyah li Naz}m al-Ma’ifat fi> al-Thaqa>fah. Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>. 1993.

Jassin, H.B. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta: CV. Haji Masagung. 1987.

Riddel, Peter G. “Menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia.” Dalam Henri Chambert-Loir, Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

Supartono, Alexander. Lekra vs Manikebu. Jakarta: STF Driyakarya. 2000.

Syamsu, Nazwar. Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB Jassin. Padang Panjang: Pustaka Saadiyah. 1978.

Yazdi, Mehdi Ha’iri. Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam: Menghadirkan Cahaya Tuhan. Bandung, Mizan, t.t.

al-Dhahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassiru>n. T.t: Maktabah Mus’ab ibn Umair al-Islamiyyah. 2004. 

Comments

Popular posts from this blog

Terkenal di langit

Mengetuk Pintu Langit